Jangan berpikir secara naïf bahwa di luar negeri – apalagi di negara-negara yang sudah maju dan kaya raya — kondisi keamanan selalu lebih baik daripada di Indonesia. Justru di negara-negara maju, di mana persaingan hidup cenderung sangat keras dan kejam, ada banyak terjadi peristiwa kejahatan.
Di kota-kota besar, terutama yang menjadi tujuan wisata bagi wisatawan mancanegara, sasaran utama dari tindak kejahatan adalah para wisatawan internasional. Sama seperti kebanyakan orang kita yang berpikir bahwa turis bule selalu identik dengan status kaya-raya dan berkantong tebal, demikian pula halnya dengan cara pandang masyarakat di luar negeri tentang turis-turis dari Asia.
Dari data statistik mengenai tindak kriminalitas yang terjadi pada wisatawan mancanegara di Eropa, rekor korban terbanyak masih dipegang oleh wisatawan asal Asia. Alasannya cukup masuk akal, karena turis Asia – terutama dari Jepang — terkenal sangat royal dalam membelanjakan uangnya.
Jika bertemu dengan rombongan turis Jepang yang sedang berwisata ke luar negeri, saya selalu takjub dengan barang belanjaan yang mereka beli, yang hampir semuanya merupakan barang-barang bermerek terkenal yang harganya mahal.
Pemerasan dan penipuan
Ketika sedang berjalan-jalan menikmati keramaian malam Avenue de Clichy yang merupakan daerah ‘lampu merah’ kota Paris bersama dengan dua teman saya Tobi dan Tomo (maaf, nama sebenarnya saya samarkan) pada musim panas tahun 1997 yang lalu, tanpa disadari rombongan kecil kami ini terpisah menjadi dua. Saya bersama Tobi, sementara Tomo hilang entah ke mana. Setelah sibuk mencari di tengah-tengah banyaknya orang yang hilir mudik di jalanan besar itu, sepintas kami melihat Tomo di seberang jalan, sedang berbicara dengan seorang laki-laki berpakaian perlente di depan sebuah club tari telanjang yang memasang berbagai foto dan poster seronok berukuran besar di bagian depannya.
Saya dan Tobi yang sudah terbiasa traveling, bisa merasakan bahwa teman kami yang satu ini bakal tertimpa masalah besar jika dia sampai terbujuk oleh rayuan laki-laki berpakaian perlente tadi. Namun lantaran rasa kesetia-kawanan, kami berusaha mendatanginya dan jika masih memungkinkan, mengajaknya pergi.
Saat kami hampir tiba di depan club malam tadi, terlihat Tomo sudah melangkah masuk ke dalam menuruti ajakan laki-laki yang ternyata adalah pegawai dari clubtersebut. Ketika Tomo sudah hilang dari pandangan, laki-laki tadi ganti mendatangi kami dan mengatakan bahwa sebentar lagi ada pertunjukan ‘bagus’ dengan tiket masuk hanya sebesar 100 FF. Kami sempat menolak tawaran itu dan minta izin masuk untuk memanggil teman kami yang sudah terlanjur di dalam. Namun, begitu kami masuk, mendadak pintu club ditutup dan sekonyong-konyong datanglah tiga orang wanita muda yang langsung menyeret kami ke tempat duduk.
Begitu kami duduk, seketika itu pertunjukan dimulai tanpa kami minta. Di atas panggung muncul beberapa penari wanita berpakaian minim dengan gaya yang erotis, sementara di atas meja di tempat kami bertiga duduk, secara terus menerus disajikan minuman yang dengan segera diteguk habis oleh tiga wanita yang duduk bersama kami.
Karena hati kecil saya merasa tidak enak sejak awal tadi, tidak sampai sepuluh menit kemudian, kami memutuskan untuk meninggalkan tempat itu. Namun alangkah terkejutnya kami, ketika mendadak disodori tagihan sejumlah lebih dari 8000 FF (yang kalau tidak salah waktu itu hampir setara dengan 8 juta rupiah)!
Karena merasa tidak mengkonsumsi apapun yang setara dengan bon tagihan itu, kami menolak untuk membayar. Argumentasi kami dipatahkan dengan datangnya beberapa lelaki berbadan kekar yang tampaknya adalah bodyguard dari club itu. Kami mencoba mengalah dan menawarkan melakukan pembayaran dengan kartu kredit, tetapi ditolak. Akhirnya, yang terjadi adalah kami bertiga digeledah. Isi dompet kami – entah berapa jumlahnya — dikuras habis. Masih tidak puas dengan hasil yang diperoleh, mereka memerintahkan Tobi untuk mengambil uang di ATM terdekat untuk melunasi sisa tagihan, sementara saya dan Tomo dijadikan sandera dengan ancaman apabila Tobi tidak kembali dalam tenggang waktu yang ditentukan, maka kami berdua bakal dipukuli.
Cerita di atas adalah salah satu dari beberapa pengalaman buruk yang pernah saya alami ketika mengadakan perjalanan ke luar negeri. Kejadian seperti penipuan dan pemerasan, dapat terjadi di mana saja dan kapan saja terhadap siapa saja. Tak perlu berkecil hati, karena yang lebih penting adalah bagaimana caranya dan apa tindakan kita agar bisa terhindar dari kejadian buruk tersebut, atau setidaknya meminimalisasi kerugian yang harus kita tanggung.
Di kota-kota besar, terutama yang menjadi tujuan wisata bagi wisatawan mancanegara, sasaran utama dari tindak kejahatan adalah para wisatawan internasional. Sama seperti kebanyakan orang kita yang berpikir bahwa turis bule selalu identik dengan status kaya-raya dan berkantong tebal, demikian pula halnya dengan cara pandang masyarakat di luar negeri tentang turis-turis dari Asia.
Dari data statistik mengenai tindak kriminalitas yang terjadi pada wisatawan mancanegara di Eropa, rekor korban terbanyak masih dipegang oleh wisatawan asal Asia. Alasannya cukup masuk akal, karena turis Asia – terutama dari Jepang — terkenal sangat royal dalam membelanjakan uangnya.
Jika bertemu dengan rombongan turis Jepang yang sedang berwisata ke luar negeri, saya selalu takjub dengan barang belanjaan yang mereka beli, yang hampir semuanya merupakan barang-barang bermerek terkenal yang harganya mahal.
Pemerasan dan penipuan
Ketika sedang berjalan-jalan menikmati keramaian malam Avenue de Clichy yang merupakan daerah ‘lampu merah’ kota Paris bersama dengan dua teman saya Tobi dan Tomo (maaf, nama sebenarnya saya samarkan) pada musim panas tahun 1997 yang lalu, tanpa disadari rombongan kecil kami ini terpisah menjadi dua. Saya bersama Tobi, sementara Tomo hilang entah ke mana. Setelah sibuk mencari di tengah-tengah banyaknya orang yang hilir mudik di jalanan besar itu, sepintas kami melihat Tomo di seberang jalan, sedang berbicara dengan seorang laki-laki berpakaian perlente di depan sebuah club tari telanjang yang memasang berbagai foto dan poster seronok berukuran besar di bagian depannya.
Saya dan Tobi yang sudah terbiasa traveling, bisa merasakan bahwa teman kami yang satu ini bakal tertimpa masalah besar jika dia sampai terbujuk oleh rayuan laki-laki berpakaian perlente tadi. Namun lantaran rasa kesetia-kawanan, kami berusaha mendatanginya dan jika masih memungkinkan, mengajaknya pergi.
Saat kami hampir tiba di depan club malam tadi, terlihat Tomo sudah melangkah masuk ke dalam menuruti ajakan laki-laki yang ternyata adalah pegawai dari clubtersebut. Ketika Tomo sudah hilang dari pandangan, laki-laki tadi ganti mendatangi kami dan mengatakan bahwa sebentar lagi ada pertunjukan ‘bagus’ dengan tiket masuk hanya sebesar 100 FF. Kami sempat menolak tawaran itu dan minta izin masuk untuk memanggil teman kami yang sudah terlanjur di dalam. Namun, begitu kami masuk, mendadak pintu club ditutup dan sekonyong-konyong datanglah tiga orang wanita muda yang langsung menyeret kami ke tempat duduk.
Begitu kami duduk, seketika itu pertunjukan dimulai tanpa kami minta. Di atas panggung muncul beberapa penari wanita berpakaian minim dengan gaya yang erotis, sementara di atas meja di tempat kami bertiga duduk, secara terus menerus disajikan minuman yang dengan segera diteguk habis oleh tiga wanita yang duduk bersama kami.
Karena hati kecil saya merasa tidak enak sejak awal tadi, tidak sampai sepuluh menit kemudian, kami memutuskan untuk meninggalkan tempat itu. Namun alangkah terkejutnya kami, ketika mendadak disodori tagihan sejumlah lebih dari 8000 FF (yang kalau tidak salah waktu itu hampir setara dengan 8 juta rupiah)!
Karena merasa tidak mengkonsumsi apapun yang setara dengan bon tagihan itu, kami menolak untuk membayar. Argumentasi kami dipatahkan dengan datangnya beberapa lelaki berbadan kekar yang tampaknya adalah bodyguard dari club itu. Kami mencoba mengalah dan menawarkan melakukan pembayaran dengan kartu kredit, tetapi ditolak. Akhirnya, yang terjadi adalah kami bertiga digeledah. Isi dompet kami – entah berapa jumlahnya — dikuras habis. Masih tidak puas dengan hasil yang diperoleh, mereka memerintahkan Tobi untuk mengambil uang di ATM terdekat untuk melunasi sisa tagihan, sementara saya dan Tomo dijadikan sandera dengan ancaman apabila Tobi tidak kembali dalam tenggang waktu yang ditentukan, maka kami berdua bakal dipukuli.
Cerita di atas adalah salah satu dari beberapa pengalaman buruk yang pernah saya alami ketika mengadakan perjalanan ke luar negeri. Kejadian seperti penipuan dan pemerasan, dapat terjadi di mana saja dan kapan saja terhadap siapa saja. Tak perlu berkecil hati, karena yang lebih penting adalah bagaimana caranya dan apa tindakan kita agar bisa terhindar dari kejadian buruk tersebut, atau setidaknya meminimalisasi kerugian yang harus kita tanggung.
0 komentar:
Post a Comment
Blog ini sudah dofollow silakan komentar di bawah ini