Dunia ini sudah ‘flat’ (datar). Demikian kesimpulan Thomas L. Friedman dalam bukunya “The World is Flat”. Tentu saja yang dimaksud Friedman bukan bentuk fisik dari planet Bumi ini. Karena bila demikian, mungkin saja dunia sudah kiamat. Yang dimaksud Friedman dalam bukunya adalah telah terjadi banyak perubahan baik secara teknologi (notabene Internet), regulasi, politik, ekonomi,maupun sosial. Perubahan-perubahan tersebut telah ,mengurangi (bila tidak meniadakan) tembok-tembok yang selama ini membatasi negara-negara dan bangsa-bangsa di dunia.
Tentu saja pendapat Friedman ini mendapat pro dan kontra. Namun terlepas dari menariknya pemikiran Friedman, sesungguhnya masih ada tembok-tembok yang jauh lebih kecil ukurannya yang membentengi setiap orang. Tembok-tembok yang dimaksud bisa berupa tembok fisik namun yang lebih berperan adalah tembok psikis. Dengan berbagai alasan, tembok-tembok tersebut ada. Bisa karena dibangun oleh orang yang bersangkutan maupun orang-orang lain disekitarnya. Karena berbagai alasan tertentu mulai dari jati diri hingga harga diri, kita semua membangun atau dibangunkan tembok seperti itu. Bisa bermanfaat untuk kondisi atau tujuan tertentu memang, namun bisa menciptakan kesulitan tersendiri bila tidak digunakan dengan bijak. Untuk lebih jelasnya, marilah kita simak situasi berikut ini.
Mr. X (tentu saja bukan nama sebenarnya), akhirnya dipromosikan menjadi kepala kantor cabang. Setelah bekerja keras selama lima tahun dan sedikit ‘sikut kiri kanan’. Akhirnya Mr. X bisa menempati ruang kerja yang selama ini diidam-idamkannya. Mr. X dipilih oleh atasannya terdahulu yang sekarang mendapat tugas baru di kantor pusat. Sebelum pindah ke kantor pusat, atasan tersebut memberikan kepercayaan kepada Mr. X untuk menggantikan sebagai kepala kantor cabang di kota tersebut.
Segera setelah menduduki jabatan barunya, Mr. X berubah. Ia tak mau lagi berkumpul dengan teman-teman sejawatnya di kantor. Ia pun tidak bersedia mendengar masukan dari para bawahannya. Mr. X lebih banyak menutup diri baik secara fisik maupun psikis. Agar seorang bawahan bisa bertemu dengan Mr. X ia harus membuat janji pertemuan dengan dua sekretaris dan satu asisten pribadinya. Acara protokoler kantor pun dibuat labih mengkilap dan menjadi panjang bertele-tele. Mulai dari prosesi acara hingga tentu saja sambutan dan arahan dari Mr. X. Jarak antara atasan dengan bawahan menjadi sangat terasa di kantor tersebut. Yang dikeluarkan oleh Mr. X hanyalah perintah. Tidak ada ruang untuk diskusi dan perbedaan pendapat.
Sebenarnya, di balik tembok-tembok yang dibangun oleh Mr. X tersebut, sesungguhnya ia menyadari betul bahwa sebenarnya banyak hal yang tidak ia ketahui mengenai tugas dan tanggung jawabnya. Khususnya, hal-hal detil operasional yang tidak mungkin ia geluti sebagai kepala kantor. Namun tentu saja Mr. X menyembunyikan hal ini. Bila ketahuan oleh anak buahnya, tentu saja ia akan sangat malu dan kehilangan muka.
Di sisi lain, anak buah Mr. X tentu saja mengetahui ketidakhtahuan bos mereka. Mr. X seringkali mengeluarkan arahan yang jelas-jelas salah dan bahkan tidak nyambung sama sekali. Mr. X juga tidak pernah mengetahui apa yang terjadi di lapangan karena ia tidak pernah ke sana dan tidak pernah mendapatkan informasi yang akurat mengenai apa yang terjadi. Situasi ini kemudian dimanfaatkan oleh sebagian anak buah yang ‘nakal’ untuk mengerjai Mr. X. Sementara anak buah yang jujur pun menjadi kesal dengan ulah Mr. X yang tidak pernah menghargai kerja keras mereka. Singkat kata, Mr. X mengalami apa yang disebut dengan ‘lonely in the crowd’. Di kantor tidak ada lagi orang yang menyapanya, kecuali tentu saja para ‘penjilat’. Ketika para karyawan berkumpul, mereka langsung membubarkan diri bila melihat Mr. X dari kejauhan.
Suatu hari,datanglah mantan atasan Mr. X yang dulu menjadi kepala kantor tersebut sebelum Mr. X. Ia datang bersama para petinggi dari kantor pusat yang sedang melakukan kunjungan ke kantor-kantor cabang. Dalam acara kunjungan tersebut, terjadilah beberapa hal aneh dan menggelikan. Para petinggi dari pusat termasuk si mantan atasan, disambut hangat oleh para bawahan Mr. X. Bahkan mereka bisa berbincang-bincang dan bersenda gurau layaknya teman lama yang baru bertemu kembali. Sementara itu, Mr. X tidak bisa masuk dalam perbincangan tersebut karena pernyataan –pernyataan yang dikeluarkan oleh Mr. X membuat heran para petinggi dari pusat dan kerap mendapat cemoohan dari para bawahannya. Bahkan untuk hal-hal mendasar yang pada umumnya semua orang tahu, Mr. X seperti anak yang terbelalak karena menemukan hal-hal baru yang tidak pernah ia ketahui sebelumnya.
0 komentar:
Post a Comment
Blog ini sudah dofollow silakan komentar di bawah ini